• Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Maros

    Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah

    Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan

     

    Nama Kebijakan:

    Perda Kabupaten Maros Nomor 16 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah

     

    Kriteria Prinsip

    Pemenuhan Indikator

    Keterangan

    Ya

    Tidak

    Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU

    Komentar

    1.      Filosofis

    1.1  Keadilan* 

     

    X

    Penggunaan simbol agama satu kelompok sebagai simbol daerah menempatkan satu kelompok lebith tinggi daripada lainnya di depan hukum dan pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan asas jaminan kesamaan kedudukan warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945

     

    Aturan Bertentangan dengan jaminan kepastian hukum, terutama hak untuk kemerdekaan beragama dan kemerdekaan beribadat sesuai dengan agamanya. Pengaturan ini bertentangan dengan pasal 27(1) Pasal 1,2,3,4,5,13,14,15,16, Konvensi CEDAW dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 Pasal 1.1, 3 (2), 17, 18, 19 UU Nomor 39 Tahun 1999 (ICCPR)  Pasal 3,14,16,18, 25, 26.

     

     

    1.2 Pengayoman dan Kemanusiaan*

     

    X

    Aturan mewajibkan busana mengurangi jaminan hak warga negara atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya, yaitu hak untuk mengekpresikan atau tidak mengekpresikan agamnya sebagai salah satu identitas diri, sesuai dengan hati nuraninya. Aturan ini, karenanya melanggar setidaknya empat pasal UUD 1945, yaitu pasal 29 ayat 2. Pasal 28E ayat 1 dan ayat 2. Pasal 28D ayat 1, Pasal 28I ayat 1, Pasal 28G(1

     

    Pasal 1,  2, 3,5,14,15,16 Konvensi CEDAW dalam UU Nomor 7 Tahun 1984

    Pasal 1.1, 1.4, 9(2), 29 (1), 30 (1), 35 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM

    Pasal 2,3,9(1),16 UU Nomor 12 Tahun 2005 pengesahan ICCPR

    Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011

    Pasal 138 (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 

    Secara khusus, Pasal 8 dari Perda memuat penafsiran tunggal pada aturan agama (tentang bagian dari tubuh yang perlu ditutupi) sehingga dapat mengurangi hak warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. 

     

    1.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia

     

    X

    Pasal Bertentangan dengan Pasal 2, 7, 22, 138.1 UU Nomor 32 Tahun 2004.

     

    Pasal 6 (1) UU Nomor 12 tahun 2011

    Muatan aturan menunjukkan preferensi pada simbol dan penafsiran tertentu pada agama mayoritas. Preferensi serupa ini menciderai asas kebangsaan, kenusantaraan dan kebhinekaan. Pengaturan tidak mencerminkan watak bangsa yang majemuk, termasuk kemajemukan keimananya, dan tidak memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia, mengingat potensi disintegrasi bangsa akibat kemunculan perda ini.

    2.     Yuridis

    2.1   Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan* 

     

    X

    Perda ini menggunakan konsideran pasal 29(2) yang memberikan jaminan atas hak kemerdekaan beragama. Secara intrinsik, Pasal ini menegaskan jaminan bagi tiap-tiap pemeluk agama untuk beribadat sesuai dengan agama dan keyakinannya itu, termasuk dalam hal ini adalah untuk tidak menempatkan cara berpakaian sesuai dengan ajaran yang ia yakini. Karenanya, pengaturan kewajiban busana dengan penafsiran tunggal pada bagian tubuh yang harus ditutupi justru bertentangan dengan maksud dari Pasal Konstitusi yang dirujuk.  

    Pasal 3, 7 (1.a) UU Nomor 12 Tahun 2011

     

    Pasal 3 dan penjelasan pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011

    2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah*

     

    X

    Agama adalah kewenangan pemerintah (pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah)

    (pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah)

    2.3 Relevansi Acuan Yuridis*

     

    X

    Dengan Maksud untuk melindungi, perda ini tidak mengacu pada Undang-Undang yang memberikan jaminan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya UU Nomor 7 Tahun 1984.

    Pasal 2a Konvensi CEDAW dalam UU Nomor Tahun 1984

    2.4 Kemutakhiran Yuridis

     

    X

    Landasan hukumnya tidak mencantumkan Undang-Undang yang seharusnya menjadi acuan dalam perlindungan perempuan

    Pasal 50 UU Nomor 10 Tahun 2004 atau sekarang pasal 83 UU Nomor 12 Tahun 2011

    2.5 Kelengkapan Dokumen

     

    X

    Dalam proses pemantauan Komnas Perempuan, tidak tercatat keberadaan naskah akademik bagi perda ini (jika dilihat dari tahun penerbitan maka keberadaan naskah akademis belum menjadi kewajiban perda ini).

    Pasal 4(3) UU Nomor 12 Tahun 2011

    3.     Subtantif

     

     

     

     

    3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi*

     

    X

    Pasal 4 perda menyebutkan bahwa aturan busana juga dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya ancaman dan gangguan dari pihak lain. Terkait upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, paradigma yang diusung dalam aturan ini justru menguhkan pendekatan yang menempatkan perempuan sebagai pencetus kekerasan dan menempatkan persoalan kekerasan terhadap perempuan sebagai isu moralitas dari pihak perempuan. Pendekatan serupa ini bertentangan dengan Pasal 28 I Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945

    Pasal 5(a,f) Konvensi CEDAW dalam UU Nomor 7 Tahun 1984

     

    3.2 Kejelasan Subjek dan Objek Pengaturan

    X

     

    -

     

    3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi

    X

     

    -

     

    3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan*

     

    X

    Hasil Pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa Perda tentang busana ditenggarai sebagai peraturan yang sia-sia karena (a) adab kesopanan berbusana merupakan wilayah pengaturan masyarakat,(b) perempuan muda tetap mengalami pelecehan seksual meski telah berbusana sebagaimana yang diatur, (c) pengaturan ini hanyalah pencitraan dari kepala daerah dan (d) keimanan dan ketaqwaan seseorang tidak dapat dinilai dari acara berusana.

     

    Meski aturan ini hanya ditujukan kepada yang beragama Islam, dengan kekhususan pada pekerja kantor dan pemerintah dan swasta serta lingkungan pendidikan, aturan ini secara tidak lansung membebani kelompok non-Muslim, khususnya masyarakat adat. Desakan halus untuk “menyesuaikan diri” pada aturan mayoritas, perlakuan yang membedakan antara kelompok mayoritas dan minoritas akibat cara berbusana, semakin menunjukkan ketidakadilan yang ditimbulkan dari aturan ini. Tidak ada pula mekanisme complaint, yang tersedia dan dapat menjamin rasa aman bagi pengadu, bagi pihak yang merasa dirugikan akibat kebijakan ini.    

    Pasal 2a

    Pasal 5 (d) UU Nomor 10 Tahun 2004

     

    Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi

    1. Kriteria yang diberi tanda asterik merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka suatu kebijakan dianggap tidak konstitusional dan batal demi hukum.

    -           Perda ini tidak memehuni syarat mutlak yang harus dipenuhi, semua indikatorr syarat mutlak tidak dipenuhi

    1. Kesimpulan

    1.     Kebijakan Konstitusional [.....] di revisi

    2.     Kebijakan Inkonstitusional [√] dibatalkan  

    1. Rekomendasi

    1. Pemerintah Daerah harus membatalkan kebijakan ini

    2. Kemendagri melakukan klarifikasi atas kebijakan ini

           D. Catatan Perbaikan

    -

     

     

    Jakarta, ........2013

Hasil Klarisifikasi

;