• Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila di kabupaten Lahat

    Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah

    Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan

     

    Nama Kebijakan:

     

    Peraturan Daerah Kabupaten Lahat  Nomor 3  Tahun 2002  Larangan Perbuatan Pelacuran  dan Tuna Susila

     

    Kriteria Prinsip

    Pemenuhan Indikator

    Keterangan

    Ya

    Tidak

    Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU

    Komentar

    1.      Filosofis

    1.1  Keadilan* 

     

    X

    Kata “menurut keyakinannya” dalam pasal 4(3) Bertentang dengan asas kepastian hukum yang dijamin dalam Pasal 28D(2) UUD NRI 1945.

     

     

     

     

     

     

    Pengaturan pidana yang ditujukan kepada mucikari tidak sesuai dengan ketentuan KUHP, karena dalam KUHP di pidana kurung selama 1 tahun (pasal506 KUHP).  Sedangkan di Perda hanya dengan pidana 6 bulan pidana kurungan.  hal ini bertentangan dengan asas kesesuaian dengan asas lainnya dibidang hukum peraturan perundang-undangan, yang diatur dalam pasal 6 (2) UU nomor 12 Tahun

    Pasal 4 (3) menurut keyakinannya merupakan kalimat multitafsir yang dapat memberikan peluang pada aparat lapangan untuk menafsirkan hal tersebut sesuai dengan dugaannya. Sehingga tidak ada kepastian hukum mana yang merupakan tingkah laku yang melanggar hukum

     

     

     

    1.2 Pengayoman dan Kemanusiaan*

     

    X

    Pengaturan pidana yang ditujukan kepada pihak yang melindungi pelacur, sehingga jika dalam kondisi PS memerlukan perlindungan dari ancaman kekerasan, justru merupakan perbuatan yang dianngap melawan hukum. Hal ini bertentangan dengan prinsip jaminan hak atas rasa aman dan perlndungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

     

    Hal ini bertentangan dengan pasal 28G UUD NRI 1945.

    Pasal 2,3,5,14,15,16 UU Nomor 7 Tahun 1984

     

    Bertentangan dengan Pasal 1.1,1.3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

    Bertentangan dengan Pasal 2.3 UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

    Pasal 28(a) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

    Pasal 6(1g) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan  

     

    1.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia

     

    NA

    NA

     

    2.      

    2.1   Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan* 

     

    X

    Pengaturan mengenai Prostitusi yang didalamnya perempuan seringkali menjadi korban atau kelompok rentan, maka penting untuk mengacu pada UU Nomor.7 Tahun 1984 dan UU Nomor 21 Tahun 2007

     

    2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah*

    X

     

    -

    Prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks yang memerlukan banyak pendekatan, dan kerjasama dengan kelompok masyarakat, terutama terkait dengan jaminan perlindungan. Pendekatan pada kelompok perempuan penting sebagai upaya melindungi dari prostitusi paksa dan perdagangan orang. Bukan justru mengatur pada kriminalisas pada kelompok perempuan  

    2.3 Relevansi Acuan Yuridis*

     

    X

    Dalam acuan yuridis tidak menggunakan UU Nomor 7 Tahun 1984 sebagai dasar pertimbangan hukum.

    Pengaturan mengenai prostitusi dimana perempuan menjadi salah satu objek pengaturan, maka harus mengacu juga pada prosedur penanganan perlinudngan terhadap perempuan sehingga terhindar dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempua, yang diatur dlam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

    2.4 Kemutakhiran Yuridis

     

    X

    perda ini tidak mengacu pada Undang-Undang yang memberikan jaminan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya UU Nomor 7 Tahun 1984.

     

    2.5 Kelengkapan Dokumen

     

    -

    Dalam proses pemantauan Komnas Perempuan, tidak tercatat keberadaan naskah akademik bagi perda ini (jika dilihat dari tahun penerbitan maka keberadaan naskah akademis belum menjadi kewajiban perda ini).

     

    3.     Subtantif

     

     

     

     

    3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi*

     

    X

    Pengaturan prostitusi penting untuk melandasi acuan hukumnya pada perlindungan perempuan, karena jika tidak ia akan justru perempuan menjadi korban/objek kekerasan.

     

    Hal ini bertentangan dengan rumusan ketidak pastian hukum yang diatur dalam pasal 28(D) UUD NRI 1945

     

     

    Perda ini memang tidak menuliskan secara literal tentang kata pelacur sebagai perempuan. Tetapi pada pengaturan ini, perempuan bisa menjadi taregt /objek penangkapan karena adanya tidak pastian hukum, dimana penangkapan berdasarkan pada keyakinan dari aparatnya, sehingga jika aparat yang berwenang tidak mempunyai pengetahuan tentang perlindungan permpuan, maka perempuan lah yang memnjadi target utama dari pelacuran.

    3.2 Kejelasan Subjek dan Objek Pengaturan

    X

     

    Meskipun ada subjek dan objek pengaturan diatur dengan jelas,dengan pasal yang mengadung tidak pastian hukum pada pasal 4(3) dapat memberikan peluang perempuan menjadi objek pengaturan utama.

     

    3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi

     

    X

    Perda ini tidak memuat penjelasan tentang mekanisme koordinasi dan pengawasan pelaksanaan termasuk tata kelola pengaduan masyarakat yang dirugikan akibat aturan ini

     

    3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan*

     

     

    Tidak adanya pengaturan antisipasi tindakan kekerasan terhadap perempuan, hanya akan menempatjan perempuan pada posisi objek pengaturannya.

     

     

     

     

    Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi

     

    1. Kriteria yang diberi tanda asterik merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka suatu kebijakan dianggap tidak konstitusional dan batal demi hukum.

     

    -           Perda ini tidak memehuni syarat mutlak yang harus dipenuhi, semua indikatorr syarat mutlak tidak dipenuhi

     

    1. Kesimpulan

     

    1.      Kebijakan Konstitusional [.....] di revisi

     

    2.     Kebijakan Inkonstitusional [√] dibatalkan  

     

    1. Rekomendasi

     

    1. Pemerintah Daerah harus membatalkan kebijakan ini

     

    2. Kemendagri melakukan klarifikasi atas kebijakan ini

     

           D. Catatan Perbaikan

     

    -

     

     

     

     

     

    Jakarta, ........2013

     

     

     

     

     

     

Hasil Klarisifikasi

;