Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah
Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan
Nama Kebijakan:
Peraturan Daerah Kab Balangan Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Pencegahan Larangan dan Penangulangan Perbuatan Tuna Susila
Kriteria Prinsip |
Pemenuhan Indikator |
Keterangan |
||
Ya |
Tidak |
Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU |
Komentar |
|
1. Filosofis |
||||
1.1 Keadilan* |
|
X |
Pasal 1 (1-2) menyandarkan perilaku tuna susila, mengunjungi tempat-tempat yang “ diduga atau patut diduga “merupakan kata yang multiftafsir karena tidak menyebutkan secara pasti tingkah laku yang menunjukan bukti perbuatan di atas adalah tindakan asusila. Hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang bertentangan dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Pengaturan Pidana dalam Prostitusi, diatur dalam KUHP, yang dikenakan pidana adalah mucikari bukan pelacur yaitu 1 tahun penjara Pasal 506 KUHP, dan dengan ancaman pidana 1 tahun kurungan., namun dalam perda ini pihak yang terkait dengan pelacuran yaitu pelacur (meskipun dia korban tetap di pidana)terkena ancaman pidana 3 bulan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
|
|
1.2 Pengayoman dan Kemanusiaan* |
|
X |
Pasal 1 (1-2) menyandarkan perilaku tuna susila, mengunjungi tempat-tempat yang “ diduga atau patut diduga merupakan kata yang multiftafsir karena tidak menyebutkan secara pasti tingkah laku yang menunjukan bukti perbuatan di atas adalah tindakan asusila. Hal ini bertentangan dengan jaminan hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena nya berntengan dengan pasal 28G(1) UU NRI 1945 |
|
1.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia |
|
NA |
NA |
|
2. |
||||
2.1 Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan* |
|
X |
Pengaturan mengenai Prostitusi, yang didalamnya perempuan seringkali menjadi korban atau kelompok rentan, maka penting untuk mengacu pada UU Nomor.7 Tahun 1984 dan UU Nomor 21 Tahun 2007
Perda ini tidak sesuai dengan ketentuan KUHP |
|
2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah* |
X |
|
Kewenangan pengaturan pidana adalah kewenangan Pusat. Daerah tidak bisa membuat aturan pidana yang bertentangan dengan hukum pidana nasional |
Prostitusi, merupakan persoalan sosial yang kompleks yang memerlukan banyak pendekatan, dan kerjasama dengan kelompok masyarakat, terutama terkait dengan jaminan perlindungan. Pendekatan pada kelompok perempuan penting sebagai upaya melindungi dari prostitusi paksa dan perdagangan orang. Bukan justru mengatur pada kriminalisas pada kelompok perempuan. |
2.3 Relevansi Acuan Yuridis* |
|
X |
Dalam acuan yuridis tidak menggunakan UU Nomor 7 Tahun 1984 sebagai dasar pertimbangan hukum. |
Pengaturan mengenai prostitusi dimana perempuan menjadi salah satu objek pengaturan, maka harus mengacu juga pada prosedur penanganan perlinudngan terhadap perempuan sehingga terhindar dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempua, yang diatur dlam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita |
2.4 Kemutakhiran Yuridis |
|
X |
perda ini tidak mengacu pada Undang-Undang yang memberikan jaminan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya UU Nomor 7 Tahun 1984. |
|
2.5 Kelengkapan Dokumen |
|
- |
Dalam proses pemantauan Komnas Perempuan, tidak tercatat keberadaan naskah akademik bagi perda ini (jika dilihat dari tahun penerbitan maka keberadaan naskah akademis belum menjadi kewajiban perda ini). |
|
3. Subtantif |
|
|
|
|
3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi* |
|
X |
Pengaturan prostitusi penting untuk melandasi acuan hukumnya pada perlindungan perempuan, karena jika tidak ia akan justru perempuan menjadi korban/objek kekerasan.
Hal ini bertentangan dengan rumusan ketidak pastian hukum yang diatur dalam pasal 28(D) UUD NRI 1945
|
|
3.2 Kejelasan Subjek dan Objek Pengaturan |
|
X |
Pada pengaturan Prostitusi, pengaturan pelaku utama adalah pelacur, sedangkan pihak klien dan pelanggan merupakan pihak yang tidak diatur. |
|
3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi |
|
X |
Perda ini tidak memuat penjelasan tentang mekanisme koordinasi dan pengawasan pelaksanaan termasuk tata kelola pengaduan masyarakat yang dirugikan akibat aturan ini |
|
3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan* |
|
X |
Pengaturan mengenai prostitusi yang menempatkan perempuan sebagai pencetus masalah, dan stigmatisasi akan sangat merugikan perempuan, dan justru tidak memberikan daya manfaat bagi kehidupan perempuan. |
|
Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi
- Perda ini tidak memehuni syarat mutlak yang harus dipenuhi, semua indikatorr syarat mutlak tidak dipenuhi
1. Kebijakan Konstitusional [.....] di revisi
2. Kebijakan Inkonstitusional [√] dibatalkan
1. Pemerintah Daerah harus membatalkan kebijakan ini
2. Kemendagri melakukan klarifikasi atas kebijakan ini
D. Catatan Perbaikan
-
Jakarta, ........2014