Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah
Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan
Nama Kebijakan:
Peraturan Daerah Kab Berau Nomor 02 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran
Kriteria Prinsip |
Pemenuhan Indikator |
Keterangan |
||
Ya |
Tidak |
Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU |
Komentar |
|
1. Filosofis |
||||
1.1 Keadilan* |
|
X |
Pasal 3 (2) kata “mencurigakan”, (3) kata “bermesraan” dan pasal 4 (1) kata “patut di duga” merupakan kata yang sangat umum, sehingga menimbulkan ketidak jelasan perbuatan yang mana, seperti apa, dan siapa yang menentukan. Oleh karena itu pengaturan ini bertentangan dengan asas kepastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
|
|
1.2 Pengayoman dan Kemanusiaan* |
|
X |
Pengaturan pelacuran pada perda ini memberikan ancaman pada pelacur, yang pada kenyataannya banyak sebagai ojek dan korban perdagangan. Pihak pelanggan justru diabaikan dan tidak diatur. Hal ini akan menempatkan pelacur sebagai pelaku utama, dan objek pengaturan yang terancam pada pidana. Hal ini bertentangan dengan prinsip pengayoman da n kemanusiaan yang dijamin pada 28I(2,4)Pasal 28(a), 145(2) UU Nomor 32 Tahun 2004, dan Pasal 6(1g) UU Nomor 12 Tahun 2011 |
|
1.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia |
|
NA |
NA |
|
2. |
||||
2.1 Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan* |
|
X |
Perda ini memang sudah menyebutkan UU Nomor 1984 sebagai landasan pengaturan untuk perlindungan perempuan, namun perda ini Perda ini tidak sesuai dengan ketentuan KUHP. Ancaman pidana hanya berlaku untuk mucikari bukan untuk pelacur. |
|
2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah* |
X |
|
Kewenangan pengaturan pidana adalah kewenangan Pusat. Daerah tidak bisa membuat aturan pidana yang bertentangan dengan hukum pidana nasional |
Prostitusi, merupakan persoalan sosial yang kompleks yang memerlukan banyak pendekatan, dan kerjasama dengan kelompok masyarakat, terutama terkait dengan jaminan perlindungan. Pendekatan pada kelompok perempuan penting sebagai upaya melindungi dari prostitusi paksa dan perdagangan orang. Bukan justru mengatur pada kriminalisas pada kelompok perempuan. |
2.3 Relevansi Acuan Yuridis* |
|
X |
Perda ini memang sudah menyebutkan UU Nomor 1984 sebagai landasan pengaturan untuk perlindungan perempuan, namun perda ini Perda ini tidak sesuai dengan ketentuan KUHP. Ancaman pidana hanya berlaku untuk mucikari bukan untuk pelacur. |
Pengaturan mengenai prostitusi dimana perempuan menjadi salah satu objek pengaturan, maka harus mengacu juga pada prosedur penanganan perlinudngan terhadap perempuan sehingga terhindar dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempua, yang diatur dlam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita |
2.4 Kemutakhiran Yuridis |
X |
|
Perda ini memang sudah menyebutkan UU Nomor 1984 sebagai landasan pengaturan untuk perlindungan perempuan, namun perda ini Perda ini tidak sesuai dengan ketentuan KUHP. Ancaman pidana hanya berlaku untuk mucikari bukan untuk pelacur. |
|
2.5 Kelengkapan Dokumen |
|
- |
Dalam proses pemantauan Komnas Perempuan, tidak tercatat keberadaan naskah akademik bagi perda ini (jika dilihat dari tahun penerbitan maka keberadaan naskah akademis belum menjadi kewajiban perda ini). |
|
3. Subtantif |
|
|
|
|
3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi* |
|
X |
Pengaturan prostitusi penting untuk melandasi acuan hukumnya pada perlindungan perempuan, karena jika tidak ia akan justru perempuan menjadi korban/objek kekerasan.
Penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk pelaksanaan prinsip konstitusi, namun perda ini justru membatasi, mengkriminalkan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip2 konstitusi untuk tidak mendiskriminasikan perempuan, meneguhkan stigma, dan membuat rumusan yang menimbulkan ketidak pastian hukum sebagaimana yang telah dijaabarkan diatas. Hal ini bertentangan dengan pasal 27 (1) dan pasal 28D (1) UUD NRI 1945, pasal 2 dan 15 UU Nomor 7 tahun 1984
|
|
3.2 Kejelasan Subjek dan Objek Pengaturan |
|
X |
Pada pengaturan Prostitusi, pengaturan pelaku utama adalah pelacur, sedangkan pihak klien dan pelanggan merupakan pihak yang tidak diatur. |
|
3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi |
|
X |
Perda ini tidak memuat penjelasan tentang mekanisme koordinasi dan pengawasan pelaksanaan termasuk tata kelola pengaduan masyarakat yang dirugikan akibat aturan ini |
|
3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan* |
|
X |
Pengaturan mengenai prostitusi, yang menempatkan perempuan sebagai pencetus masalah, dan stigmatisasi akan sangat merugikan perempuan, dan justru tidak memberikan daya manfaat bagi kehidupan perempuan. |
|
Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi
- Perda ini tidak memehuni syarat mutlak yang harus dipenuhi, semua indikatorr syarat mutlak tidak dipenuhi
1. Kebijakan Konstitusional [.....] di revisi
2. Kebijakan Inkonstitusional [√] dibatalkan
1. Pemerintah Daerah harus membatalkan kebijakan ini
2. Kemendagri melakukan klarifikasi atas kebijakan ini
D. Catatan Perbaikan
-
Jakarta, ........2014