Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah
Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan
Nama Kebijakan:
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Maksiat
Kriteria Prinsip |
Pemenuhan Indikator |
Keterangan |
||
Ya |
Tidak |
Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU |
Komentar |
|
1. Filosofis |
||||
1.1 Keadilan* |
|
X |
Pengaturan Pasal 1 (22,23) tentang homoseks dan lesbian merupakan tindakan yang tidak diatur pidana dalam KUHP, pemidanaan pada homoseks dan lesbian bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang bertentangan dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Pengaturan Perkosaan dalam perda ini hanya berlaku bagi kekerasan seksual diluar perkawinan, kekerasan seksual oleh pasangan perkawinan tidak dianggap sebagai tindakan perkosaan.
Pengertian Pornografi dalam pasal 1(28) dengan kata “segala jenis perbuatan, dan yang merangsang nafsu birahi” merupakan pengertian yang tidak jelas bagaimana suatu tindakan memenuhi prasyarat merangsang nafsu birahi, karena keterangsangan bersifat individual. Oleh karena itu dengan standar apa dan bagaimana nafsu birahi teransang. Hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang bertentangan dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Pengaturan Prostitusi sudah ada di dalam KUHP, dan tidak ada rekomendasi UU untuk mengaturnya dalam tingkat perda, meskipun dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak disebutkan, namun ketentuan pengaturannya harus sesuai dengan sistem hukum nasional, dan peraturan yang lebih tinggi.
Pasal 5(H) yang mengatur secara khusus tentang pakaian perempuan, dimana perempuan menjadi salah satu jenis kelamin yang diatur, dan dikenakan pidana. Hal ini bertentangan dengan Asas Jaminan kesamaan dan kedudukan di dalam hukum, oleh karena itu hal ini bertentangan dengan pasal 28D(1) dan Pasal 27(1) UUD NRI 1945 |
|
1.2 Pengayoman dan Kemanusiaan* |
|
X |
Pasal 5(H) yang mengatur secara khusus tentang pakaian perempuan, dimana perempuan menjadi salah satu jenis kelamin yang diatur, dan dikenakan pidana, merupakan bertentangan dengan prinsip pengayoman dan kemanusiaan, yang melanggar - Jaminan atas hak bebas dari kekerasan dan diskriminasi (bertentangan dengan pasal 28I(2) UUD NRI 1945. Pasal 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,UU Nomor 7 Tahun 1984. Pasal 28(a), 145(2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.Pasal 61g) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. - Pasal 1(28) pengaturan tentang pornografi yang merupakan tindakan yang tidak jelas yang mana merupakan indikasi sebagai pidana. Hal ini bertentangan dengan jaminan hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena nya berntengan dengan pasal 28G(1) UU NRI 1945 - Pasal 1(22,23) tentang homoseks dan lesbian menempatkan kelompok LGBT sebagai target utama pengaturan ancaman pidana, hal ini bertentangan dengan Prinsip Pengayoman dan Kemanusiaan. Hal ini bertentangan dengan Jaminan atas hak bebas dari kekerasan dan diskriminasi (bertentangan dengan pasal 28I(2) UUD NRI 1945. Pasal 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,UU Nomor 7 Tahun 1984. Pasal 28(a), 145(2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.Pasal 61g) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
|
Penyebutan kata Wanita, merupakan diskriminasi jenis kelamin yang menempatkan jenis kelamin perempuan yang menjadi pelaku, sehingga menjadi objek pengaturan yang berdampak pada kriminalisasi |
1.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia |
|
NA |
NA |
|
2. |
||||
2.1 Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan* |
|
X |
Pengaturan mengenai Prostitusi, Pornografi yang didalamnya perempuan seringkali menjadi korban atau kelompok rentan, maka penting untuk mengacu pada UU Nomor.7 Tahun 1984 dan UU Nomor 21 Tahun 2007 |
Pengaturan Maksiat yang yang mencakup prostitusi, zina, Homoseks, lesbian,sodomi,perkosaan,pelecehan seksual, pornografi,judi, minuman keras, narkotika merupakan pengaturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi karena tidak semua yang disebutkan diatas merupakan perbuatan pidana. Hal ini bertentangan dengan
|
2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah* |
X |
|
Pengaturan maksiat yang diambil dari term dan kaidah salah satu agama,bukan merupakan kewenangan dari Pemda. Hal ini bertentangan dengan pasal 10(3) UU nomor 32 Tahun 2004 |
Prostitusi, Pornografi, Perkosaan, LGBT merupakan persoalan sosial yang kompleks yang memerlukan banyak pendekatan, dan kerjasama dengan kelompok masyarakat, terutama terkait dengan jaminan perlindungan. Pendekatan pada kelompok perempuan penting sebagai upaya melindungi dari prostitusi paksa dan perdagangan orang. Bukan justru mengatur pada kriminalisas pada kelompok perempuan, LGBT |
2.3 Relevansi Acuan Yuridis* |
|
X |
Dalam acuan yuridis tidak menggunakan UU Nomor 7 Tahun 1984 sebagai dasar pertimbangan hukum. |
Pengaturan mengenai prostitusi, pornografi, perkosaan dan pelechan seksual dimana perempuan menjadi salah satu objek pengaturan, maka harus mengacu juga pada prosedur penanganan perlinudngan terhadap perempuan sehingga terhindar dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempua, yang diatur dlam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita |
2.4 Kemutakhiran Yuridis |
|
X |
perda ini tidak mengacu pada Undang-Undang yang memberikan jaminan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya UU Nomor 7 Tahun 1984. |
|
2.5 Kelengkapan Dokumen |
|
- |
Dalam proses pemantauan Komnas Perempuan, tidak tercatat keberadaan naskah akademik bagi perda ini (jika dilihat dari tahun penerbitan maka keberadaan naskah akademis belum menjadi kewajiban perda ini). |
|
3. Subtantif |
|
|
|
|
3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi* |
|
X |
Pengaturan prostitusi penting untuk melandasi acuan hukumnya pada perlindungan perempuan, karena jika tidak ia akan justru perempuan menjadi korban/objek kekerasan.
Hal ini bertentangan dengan rumusan ketidak pastian hukum yang diatur dalam pasal 28(D) UUD NRI 1945
Tujuan dari pembentukan perda ini ditulisa dalam konsideran menimbang membangun kehidupan sosial. Namun penjabaran dari isi perda merupakan pengaturan yang mengandung diskriminasi, dan akan berdampak diskriminasi bukan hanya pada kelompok perempuan, tetapi juga kelompok rentan lainnya seperti LGBT. |
Perda ini mengandung aturan - Memuat pasal yang membedakan, menghmbat jaminan hak asasi perempuan atas dasar prinsip kesetaraan dengan laki-laki, kelompok LGBT - menempatkan perempuan sebagai pencetus tindak kekerasan Menempatkan rumusan pengaturan yang meneguhkan stigma |
3.2 Kejelasan Subjek dan Objek Pengaturan |
|
X |
Perda ini secara jelas membedakan pada kelompok perempuan, LGBT sebagai objek pengaturan yang bisa terkena ancaman pidana. Hal ini bertentangan dengan pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan |
|
3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi |
|
X |
Perda ini tidak memuat penjelasan tentang mekanisme koordinasi dan pengawasan pelaksanaan termasuk tata kelola pengaduan masyarakat yang dirugikan akibat aturan ini |
|
3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan* |
|
X |
Pengaturan mengenai prostitusi yang menempatkan perempuan sebagai pencetus masalah, dan stigmatisasi akan sangat merugikan perempuan, dan justru tidak memberikan daya manfaat bagi kehidupan perempuan. |
|
Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi
- Perda ini tidak memehuni syarat mutlak yang harus dipenuhi, semua indikatorr syarat mutlak tidak dipenuhi
1. Kebijakan Konstitusional [.....] di revisi
2. Kebijakan Inkonstitusional [√] dibatalkan
1. Pemerintah Daerah harus membatalkan kebijakan ini
2. Kemendagri melakukan klarifikasi atas kebijakan ini
D. Catatan Perbaikan
-
Jakarta, ........2013