Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah
Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan
Nama Kebijakan:
Peraturan Daerah Kab Musi Banyuasin Nomor 13 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran dan Perbuatan Cabul
Kriteria Prinsip |
Pemenuhan Indikator |
Keterangan |
||
Ya |
Tidak |
Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU |
Komentar |
|
1. Filosofis |
||||
1.1 Keadilan* |
|
X |
Kata “setiap perbuatan” dalam pasal 1 (7) tentang maksiat merupakan kata yang sangat umum, sehingga menimbulkan ketidak jelasan perbuatan yang mana, seperti apa, dan siapa yang menentukan. Oleh karena itu pengaturan ini bertentangan dengan asas kepastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan, serta
Homoseks, lesbian, bukan merupakan tindakan pidana yang diatur dalam KUHP. Oleh karena itu pengaturan pidana bagi kelompok LBT menimbulkan ketidakpastian huku, dan asas asas kesamaan dan kedudukan di dalam hukum. Hal tersebut tidak sesuai dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan, serta dengan pasal 27(1), Pasal 28D(1), Pasal 28(3) UUD NRI 1945.
Pengaturan Perkosaan dalam perda ini hanya berlaku bagi kekerasan seksual diluar perkawinan, kekerasan seksual oleh pasangan perkawinan tidak dianggap sebagai tindakan perkosaan.
Pasal 5(H) yang mengatur secara khusus tentang pakaian perempuan, dimana perempuan menjadi salah satu jenis kelamin yang diatur, dan dikenakan pidana. Hal ini bertentangan dengan Asas Jaminan kesamaan dan kedudukan di dalam hukum, oleh karena itu hal ini bertentangan dengan pasal 28D(1) dan Pasal 27(1) UUD NRI 1945 |
|
1.2 Pengayoman dan Kemanusiaan* |
|
X |
Pasal 1 (17-18 pengaturan tentang LBT)yang bukan merupakan tindakan pidana, diancam dengan pidana dengan perda maka pengaturan ini bertentangan dengan jaminan hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena nya berntengan dengan pasal 28G(1) UU NRI 1945 |
|
1.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia |
|
NA |
NA |
|
2. |
||||
2.1 Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan* |
|
X |
Pengaturan mengenai Prostitusi, Pornografi yang didalamnya perempuan seringkali menjadi korban atau kelompok rentan, maka penting untuk mengacu pada UU Nomor.7 Tahun 1984 dan UU Nomor 21 Tahun 2007
Perda ini tidak sesuai dengan ketentuan KUHP |
|
2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah* |
X |
|
Kewenangan pengaturan pidana adalah kewenangan Pusat. Daerah tidak bisa membuat aturan pidana yang bertentangan dengan hukum pidana nasional |
Prostitusi, Pornografi merupakan persoalan sosial yang kompleks yang memerlukan banyak pendekatan, dan kerjasama dengan kelompok masyarakat, terutama terkait dengan jaminan perlindungan. Pendekatan pada kelompok perempuan penting sebagai upaya melindungi dari prostitusi paksa dan perdagangan orang. Bukan justru mengatur pada kriminalisas pada kelompok perempuan. |
2.3 Relevansi Acuan Yuridis* |
|
X |
Dalam acuan yuridis tidak menggunakan UU Nomor 7 Tahun 1984 sebagai dasar pertimbangan hukum. |
Pengaturan mengenai prostitusi dimana perempuan menjadi salah satu objek pengaturan, maka harus mengacu juga pada prosedur penanganan perlinudngan terhadap perempuan sehingga terhindar dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempua, yang diatur dlam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita |
2.4 Kemutakhiran Yuridis |
|
X |
perda ini tidak mengacu pada Undang-Undang yang memberikan jaminan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya UU Nomor 7 Tahun 1984. |
|
2.5 Kelengkapan Dokumen |
|
- |
Dalam proses pemantauan Komnas Perempuan, tidak tercatat keberadaan naskah akademik bagi perda ini (jika dilihat dari tahun penerbitan maka keberadaan naskah akademis belum menjadi kewajiban perda ini). |
|
3. Subtantif |
|
|
|
|
3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi* |
|
X |
Pengaturan prostitusi penting untuk melandasi acuan hukumnya pada perlindungan perempuan, karena jika tidak ia akan justru perempuan menjadi korban/objek kekerasan.
Penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk pelaksanaan prinsip konstitusi, namun perda ini justru membatasi, mengkriminalkan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip2 konstitusi untuk tidak mendiskriminasikan perempuan, meneguhkan stigma, dan membuat rumusan yang menimbulkan ketidak pastian hukum sebagaimana yang telah dijaabarkan diatas. Hal ini bertentangan dengan pasal 27 (1) dan pasal 28D (1) UUD NRI 1945, pasal 2 dan 15 UU Nomor 7 tahun 1984
|
|
3.2 Kejelasan Subjek dan Objek Pengaturan |
|
X |
Pada pengaturan Prostitusi, pengaturan pelaku utama adalah pelacur, sedangkan pihak klien dan pelanggan merupakan pihak yang tidak diatur. |
|
3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi |
|
X |
Perda ini tidak memuat penjelasan tentang mekanisme koordinasi dan pengawasan pelaksanaan termasuk tata kelola pengaduan masyarakat yang dirugikan akibat aturan ini |
|
3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan* |
|
X |
Pengaturan mengenai prostitusi, yang menempatkan perempuan sebagai pencetus masalah, dan stigmatisasi akan sangat merugikan perempuan, dan justru tidak memberikan daya manfaat bagi kehidupan perempuan. |
|
Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi
- Perda ini tidak memehuni syarat mutlak yang harus dipenuhi, semua indikatorr syarat mutlak tidak dipenuhi
1. Kebijakan Konstitusional [.....] di revisi
2. Kebijakan Inkonstitusional [√] dibatalkan
1. Pemerintah Daerah harus membatalkan kebijakan ini
2. Kemendagri melakukan klarifikasi atas kebijakan ini
D. Catatan Perbaikan
-
Jakarta, ........2014