Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah

Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan

 

 

Nama Kebijakan:

Peraturan Daerah Kab Ogan Komering Ulu Timur Nomor 23 Tahun 2006  tentang Pemberantasan Maksiat

                 

Kriteria Prinsip

Pemenuhan Indikator

Keterangan

Ya

Tidak

Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU

Komentar

1.      Filosofis

1.1  Keadilan* 

 

X

 

Kata “setiap perbuatan” dalam pasal 1 (12) tentang maksiat merupakan kata yang sangat umum, sehingga menimbulkan ketidak jelasan perbuatan yang mana, seperti apa, dan siapa yang menentukan. Oleh karena itu pengaturan ini bertentangan dengan asas kepastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan, serta

 

Homoseks, lesbian, bukan merupakan tindakan pidana yang diatur dalam KUHP. Oleh karena itu pengaturan pidana bagi kelompok LBT menimbulkan ketidakpastian huku, dan asas asas kesamaan dan kedudukan di dalam hukum. Hal tersebut tidak sesuai dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan, serta dengan pasal 27(1), Pasal 28D(1), Pasal 28(3) UUD NRI 1945.

 

Pengaturan Perkosaan dalam perda ini hanya berlaku bagi kekerasan seksual diluar perkawinan, kekerasan seksual oleh pasangan perkawinan tidak dianggap sebagai tindakan perkosaan.

 

Pasal 5(H) yang mengatur secara khusus tentang pakaian perempuan, dimana perempuan menjadi salah satu jenis kelamin yang diatur, dan dikenakan pidana. Hal ini bertentangan dengan Asas Jaminan kesamaan dan kedudukan di dalam hukum,  oleh karena itu hal ini bertentangan dengan pasal 28D(1) dan Pasal 27(1) UUD NRI 1945



 

1.2 Pengayoman dan Kemanusiaan*

 

X

Pasal 1 (22-23 pengaturan tentang LBT)yang bukan merupakan tindakan pidana, diancam dengan pidana dengan perda maka pengaturan ini bertentangan dengan jaminan hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena nya berntengan dengan pasal 28G(1) UU NRI 1945.

 

Pemakaian busana merupakan hak yang dijamin oleh Konstitusi sebagai bagian dari hak berkespresi, dan hak atas keyakinannya. Ancaman pidana pada pengaturan ini bertentangan dengan asas penghormatan atas harkat dan martabat warga negara serta perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Hal ini bertentangan dengan pasal 28I(4), 28G(1) UUD NRI A945, Pasal 1,2,3,5,15,16 UU Nomor 7 Tahun 1984

 

1.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia

 

NA

Perda tentang Maksiat adalah perda yang didasarkan atas pengertian salah satu agama, pengaturan yang diatur dalam maksiat sudah diatur dalam peraturan yang lebih tinggi seperti KUHP.

 

2.      

2.1   Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan* 

 

X

Pengaturan mengenai Prostitusi, Pornografi yang didalamnya perempuan seringkali menjadi korban atau kelompok rentan, maka penting untuk mengacu pada UU Nomor.7 Tahun 1984 dan UU Nomor 21 Tahun 2007

 

 

2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah*

X

 

 

 

2.3 Relevansi Acuan Yuridis*

 

 

Dalam acuan yuridis tidak menggunakan UU Nomor 7 Tahun 1984 sebagai dasar pertimbangan hukum.

Pengaturan mengenai prostitusi dimana perempuan menjadi salah satu objek pengaturan, maka harus mengacu juga pada prosedur penanganan perlinudngan terhadap perempuan sehingga terhindar dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempua, yang diatur dlam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

2.4 Kemutakhiran Yuridis

X

 

perda ini tidak mengacu pada Undang-Undang yang memberikan jaminan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya UU Nomor 7 Tahun 1984.

 

2.5 Kelengkapan Dokumen

 

 

Dalam proses pemantauan Komnas Perempuan, tidak tercatat keberadaan naskah akademik bagi perda ini (jika dilihat dari tahun penerbitan maka keberadaan naskah akademis belum menjadi kewajiban perda ini).

 

3.     Subtantif

 

 

 

 

3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi*

 

 

Pengaturan prostitusi penting untuk melandasi acuan hukumnya pada perlindungan perempuan, karena jika tidak ia akan justru perempuan menjadi korban/objek kekerasan.

 

Penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk pelaksanaan prinsip konstitusi, namun perda ini justru membatasi, mengkriminalkan perempuan. 

Hal ini bertentangan dengan prinsip2 konstitusi untuk tidak mendiskriminasikan perempuan, meneguhkan stigma, dan membuat rumusan yang menimbulkan ketidak pastian hukum sebagaimana yang telah dijaabarkan diatas.

Hal ini bertentangan dengan pasal 27 (1) dan pasal 28D (1) UUD NRI 1945, pasal 2 dan 15 UU Nomor 7 tahun 1984 

 

 

3.2 Kejelasan Subjek dan Objek Pengaturan

 

X

Perda ini secara khusus menyebutkan kata wanita pada pasal 5(h) yang artinya menyebutkan salah satu jenis kelamin sebagai subjek yang mendapatkan ancaman pidana. Padahal perda ini harus jelas objek pengaturannya yang tidak hanya berlaku untuk perempuan tetapi juga untuk umum. Hal ini bertentangan dengan pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan 

Prostitusi, Pornografi merupakan persoalan sosial yang kompleks yang memerlukan banyak pendekatan, dan kerjasama dengan kelompok masyarakat, terutama terkait dengan jaminan perlindungan. Pendekatan pada kelompok perempuan penting sebagai upaya melindungi dari prostitusi paksa dan perdagangan orang. Bukan justru mengatur pada kriminalisas pada kelompok perempuan.  

3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi

 

X

Dalam acuan yuridis tidak menggunakan UU Nomor 7 Tahun 1984 sebagai dasar pertimbangan hukum.

Pengaturan mengenai prostitusi dimana perempuan menjadi salah satu objek pengaturan, maka harus mengacu juga pada prosedur penanganan perlinudngan terhadap perempuan sehingga terhindar dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempua, yang diatur dlam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan*

 

X

Perda ini mencetuskan perempuan sebagai pihak yang menjadi pencetus kekerasan, sehingga meneguhkan stigma pada perempuan, yang berdampak pada tindakan kekerasan yang ditujukan kepada perempuan, sehingga perda ini bukan memberikan perlindungan terhadap perempuan, tetapi justru menambah lingkar persoalan kekerasan terhadap perempuan.

 

 

 

 

 

 

 

Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi

  1. Kriteria yang diberi tanda asterik merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka suatu kebijakan dianggap tidak konstitusional dan batal demi hukum.

-           Perda ini tidak memehuni syarat mutlak yang harus dipenuhi, semua indikatorr syarat mutlak tidak dipenuhi

  1. Kesimpulan

1.      Kebijakan Konstitusional [.....] di revisi

2.     Kebijakan Inkonstitusional [√] dibatalkan  

  1. Rekomendasi

1. Pemerintah Daerah harus membatalkan kebijakan ini

2. Kemendagri melakukan klarifikasi atas kebijakan ini

       D. Catatan Perbaikan

-

 

 

Jakarta, ........2014

 

 

 

 

 

 

 

 

 

No Provinsi Keterangan
1 Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat

.

2 Keputusan Bupati Murung Raya Nomor 188.45/46/2010 Tentang Pembentukan Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Murung Raya

.

3 Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 23 Tahun 2012 tentang Wajib Belajar Diniyah Takmiliyah

.

4 Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmala

.

5 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

.

6 Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 7 Tahun 2001 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Daerah Kabupaten Way Kanan

.

7 Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 4 Tahun 2004 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan Perjudian serta Pencegahan Perbuatan Maksiat Dalam Wilayah Kabupaten Lampung Selat

.

8 Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 22 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 07 Tahun 2002 tentang Pelarangan Pelacuran dan Perbuatan Cabul di Kabupaten Gresik

.

9 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul

.

10 Peraturan Daerah Kabupaten Balangan Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pencegahan, Larangan, dan Penanggulangan Perbuatan Tuna Susila .
11 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila di kabupaten Lahat

.

12 Peraturan Daerah Kabupaten Banyu Asin Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Larangan Maksiat dalam Kabupaten Banyu Asin

.

13 Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pemberantasan Maksiat di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur

.

14 Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Maros

.

15 Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran

.

16 Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pelarangan Pelacuran

.

17 Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Selatan Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Provinsi Sumatera Selatan

.

18 Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Pelarangan dan Penertiban Penyakit Masyarakat

.


;