Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah
Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan
Nama Kebijakan:
Peraturan Daerah Kab Lampung Selatan Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Larangan Perbuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan Perjudian serta Pencegahan Perbuatan Maksiat dalam wilayah kabupaten lampung selatan
Kriteria Prinsip |
Pemenuhan Indikator |
Keterangan |
||
Ya |
Tidak |
Konstitusionalitas dan Kesesuaian dengan UU |
Komentar |
|
1. Filosofis |
||||
1.1 Keadilan* |
|
X |
Pengertian Pornografi, Pornoaksi, Maksiat dalam pasal 1(k dan l) dengan kata “segala jenis perbuatan, dan yang merangsang nafsu birahi” merupakan pengertian yang tidak jelas bagaimana suatu tindakan memenuhi prasyarat merangsang nafsu birahi, karena keterangsangan bersifat individual. Oleh karena itu dengan standar apa dan bagaimana nafsu birahi teransang.Pasal 1(m l) frasa “Setiap perbuatan yang merusak sendi-sendi kehidupan”. Perbuatan seperti apa yang dikategorikan merusak sendi-sendi kehidupan., tentu di sandarkan pada pemahaman dari aparat yang menjalankan perda. Hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang bertentangan dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Pengaturan Pidana dalam Prostitusi, Perdagangan organg diatur dalam KUHP, dan UU Nomor 21 Tahun 2007, prostitusi dikenakan bagi mucikari yaitu 1 tahun penjara Pasal 506 KUHP, dan dengan ancaman pidana 1 tahun kurungan., namun dalam perda ini seluruh pihak yang terkait dengan pelacuran terutama pelacur (meskipun dia korbantetap di pidana. Zina dalam KUHP merupakan delik aduan, bukan penangkapan sebagaimana yang diatur dalam perda. Hal ini bertentangan dengan Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Frasa “tingkah lakunya patut diduga” dalam pasal 3(2), merupakan kata yang multiftafsir karena tidak menyebutkan secara pasti tingkah laku yang bagaimana, dan sejauh mana. Serta frasa “ menurut keyakinannya” . dalam pasal 1 (1) karena penangkapan diasarkan dari penafsiran dan keinginan dari pemerintah. Hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum, yang bertentangan dengan pasal 28D(1) UUD NRI 1945. Pasal 6(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. dengan pasal 6(2) UU Nomor 12 Tahun 2011
|
|
1.2 Pengayoman dan Kemanusiaan* |
|
X |
- Kata “segala jenis kegiatan dan atau perbuatan yang dapat merangsang nafsu birahi” pada Pasal 1(k, l) tentang pornografi yang merupakan kalimat yang tidak jelas mana yang merupakan indikasi sebagai pidana. Hal ini bertentangan dengan jaminan hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena nya berntengan dengan pasal 28G(1) UU NRI 1945
|
|
1.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia |
|
NA |
NA |
|
2. |
||||
2.1 Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan* |
|
X |
Pengaturan mengenai Prostitusi, Pornografi yang didalamnya perempuan seringkali menjadi korban atau kelompok rentan, maka penting untuk mengacu pada UU Nomor.7 Tahun 1984 dan UU Nomor 21 Tahun 2007 |
Pengaturan prostitusi, zina, , pornografi, merupakan pengaturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi karena tidak semua yang disebutkan diatas merupakan perbuatan pidana. Hal ini bertentangan dengan
|
2.2 Kewenangan Pemerintah Daerah* |
X |
|
Pengaturan maksiat yang diambil dari term dan kaidah salah satu agama, bukan merupakan kewenangan dari Pemda. Hal ini bertentangan dengan pasal 10(3) UU nomor 32 Tahun 2004 |
Prostitusi, Pornografi, merupakan persoalan sosial yang kompleks yang memerlukan banyak pendekatan, dan kerjasama dengan kelompok masyarakat, terutama terkait dengan jaminan perlindungan. Pendekatan pada kelompok perempuan penting sebagai upaya melindungi dari prostitusi paksa dan perdagangan orang. Bukan justru mengatur pada kriminalisas pada kelompok perempuan. |
2.3 Relevansi Acuan Yuridis* |
|
X |
Dalam acuan yuridis tidak menggunakan UU Nomor 7 Tahun 1984 sebagai dasar pertimbangan hukum. |
Pengaturan mengenai prostitusi, pornografi, dimana perempuan menjadi salah satu objek pengaturan, maka harus mengacu juga pada prosedur penanganan perlinudngan terhadap perempuan sehingga terhindar dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempua, yang diatur dlam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita |
2.4 Kemutakhiran Yuridis |
|
X |
perda ini tidak mengacu pada Undang-Undang yang memberikan jaminan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya UU Nomor 7 Tahun 1984. |
|
2.5 Kelengkapan Dokumen |
|
- |
Dalam proses pemantauan Komnas Perempuan, tidak tercatat keberadaan naskah akademik bagi perda ini (jika dilihat dari tahun penerbitan maka keberadaan naskah akademis belum menjadi kewajiban perda ini). |
|
3. Subtantif |
|
|
|
|
3.1 Kesesuaian antara tujuan dan isi* |
|
X |
Pengaturan prostitusi penting untuk melandasi acuan hukumnya pada perlindungan perempuan, karena jika tidak ia akan justru perempuan menjadi korban/objek kekerasan.
Hal ini bertentangan dengan rumusan ketidak pastian hukum yang diatur dalam pasal 28(D) UUD NRI 1945
Tujuan dari pembentukan perda ini ditulis dalam konsideran untuk tujuan pembangunan. Namun penjabaran dari isi perda merupakan pengaturan yang mengandung diskriminasi, dan akan berdampak diskriminasi bukan hanya pada kelompok perempuan, tetapi juga kelompok rentan lainnya seperti LGBT. |
Perda ini mengandung aturan - Memuat pasal yang membedakan, menghmbat jaminan hak asasi perempuan atas dasar prinsip kesetaraan dengan laki-laki, kelompok LGBT - menempatkan perempuan sebagai pencetus tindak kekerasan Menempatkan rumusan pengaturan yang meneguhkan stigma |
3.2 Kejelasan Subjek dan Objek Pengaturan |
|
X |
Pada pengaturan Prostitusi, ini memang disebutkan pengaturan berlaku pada laki-laki dan perempuan. Namun Perda ini tidak membuat antisipasi pada pihak perempuan yang terkena dampak pengaturan |
|
3.3 Kejelasan prosedur dan birokrasi |
|
X |
Perda ini tidak memuat penjelasan tentang mekanisme koordinasi dan pengawasan pelaksanaan termasuk tata kelola pengaduan masyarakat yang dirugikan akibat aturan ini |
|
3.4 Kedayagunaan dan kehasilgunaan* |
|
X |
Pengaturan mengenai prostitusi yang menempatkan perempuan sebagai pencetus masalah, dan stigmatisasi akan sangat merugikan perempuan, dan justru tidak memberikan daya manfaat bagi kehidupan perempuan. |
|
Petunjuk Penggunaan Lembar Klarifikasi
- Perda ini tidak memehuni syarat mutlak yang harus dipenuhi, semua indikatorr syarat mutlak tidak dipenuhi
1. Kebijakan Konstitusional [.....] di revisi
2. Kebijakan Inkonstitusional [√] dibatalkan
1. Pemerintah Daerah harus membatalkan kebijakan ini
2. Kemendagri melakukan klarifikasi atas kebijakan ini
D. Catatan Perbaikan
-
Jakarta, ........2013